Stadion Manahan, Solo.
Pukul empat sore. Terhitung sudah lima kali Rei mengitari stadion tersebut.
Yang ada dalam benaknya hanya bagaimana caranya dia merasa lelah dan malam
harinya lebih cepat tertidur. Naya, temannya, bingung melihat tingkah Rei yang
tak biasa.
Naya lalu menghadang
jalan Rei. “Reisha Mahardika, stop..!!
Apa kamu gak capek?” tanya Naya. Naya mengamati wajah Rei, terlebih dia tahu
bahwa mata Rei tak dapat berbohong ketika ada masalah mengganjal dihati dan
pikirannya. “Apa yang kamu pikirkan Rei? Ceritalah sama aku,” sambung Naya.
Akhirnya Rei mengalah,
dia hanya menunduk sepanjang jalan menuju trotoar. Sesampainya di trotoar Rei
hanya diam dan mengamati wajah orang-orang yang berlalu lalang dihadapannya.
“Biarkan aku dulu.
Nanti dirumah aku cerita sama kamu, trust
me..!!”
Hanya dua kalimat itu
yang terucap dari mulut Rei. Dan itu sudah membuat Naya lega, setidaknya Rei
tak bungkam. Masih banyak pertanyaan yang membuat Naya penasaran apa yang
terjadi dengan Rei, namun Naya tak mengajukannya. Dia tahu bahwa Rei hanya
butuh menenangkan dirinya dulu.
Pukul lima sore. Mereka
bergegas menuju parkiran motor dan pulang kerumah. Sesampainya dirumah, Rei ngeloyor ke kamar dan menelungkupkan
wajahnya dibantal. Rasa sesak yang ada dihatinya akhirnya membuat bulir-bulir
air dari celah matanya tak terasa menetes.
“Ya Allah, aku sadar
apa yang sedang terjadi adalah kuasa-Mu. Dan alasan kenapa aku yang mendapatkan
ujian ini adalah karena Engkau yakin bahwa aku kuat menjalani dan menerima
semua ini. Aku berserah kepada-Mu,” kata Rei lirih.
Naya yang dari tadi
berdiri dipintu kamar Rei dan tak sengaja mendengar kata-kata Rei tanpa sadar
ikut menangis. Betapa beratnya yang dijalani Rei saat ini, setelah orang tuanya
resmi bercerai, dia hanya tinggal bersamaku dirumah ini, aku bersyukur memiliki
teman sebaik dia dan aku masih beruntung memiliki orang tua yang utuh meski
tinggal di pedesaan jauh dariku, kata Naya dalam hati.
“Rei, mandilah dulu.
Biar badan dan pikiranmu lebih segar. Setelah itu kita shalat Magrib bersama,”
ajak Naya sembari mengusap air matanya. Dia tak ingin membuat Rei semakin
bersedih.
“Iya Nay, bentar lagi
aku mandi. Kamu mandi dulu aja, aku capek.”
Naya menarik kedua kaki
Rei. “Apa perlu aku mandiin tuan
putri?” canda Naya.
“Ogah banget deh nenek sihir. Iya-iya aku mandi sekarang, nenek
sihir cerewet..!” sahut Rei dengan mencubit pipi Naya.
“Aaaa...!!” pekik Naya
kesakitan. “Sakit nih Rei, awas
ya..!” ancamnya pada Rei. Naya tak terlalu khawatir lagi karena Rei sudah mulai
jail, itu tandanya Rei sudah membaik.
Selepas shalat Isya’
mereka berdua mencari makan disekitar rumah. Bakso, adalah pilihan mereka.
Penjualnya pun sudah hafal dengan mereka.
“Biasa pak..!” pinta
Rei pada penjualnya. Maksudnya, dua mangkok bakso dan dua es teh manis seperti
yang dipesan biasanya.
“Siap mbak..!” sahut
penjual bakso itu sembari tersenyum melihat keduanya menuju meja kosong.
Mereka berdua makan
dengan lahapnya, mungkin karena sorenya kelelahan mengitari stadion. Usai makan
malam, mereka kembali kerumah. Dan disinilah Rei menjelaskan apa yang tengah
mengusik pikirannya.
“Aku bingung Nay, ini ada
kaitannya dengan Arya dan Dony” kata Rei saat mereka duduk berdua ditempat
tidur Naya. Naya hanya memandang Rei dengan tatapan bingung. Apa yang terjadi antara
Rei dengan kedua cowok itu.
“Kamu masih ingat kan
sama Arya, Arya Mahendra? Lima bulan yang lalu, waktu itu kita bertemu dia dikampus
tanpa sengaja, akhirnya aku dekat sama dia sampai saat ini. Memang dulu sempat
ada kabar dari temen-temen kalau dia naksir aku, tapi aku cuek, cuma gosip aja
pikirku. Lagipula saat itu kan aku pertama kali ngefans kakak tingkat, Syarief, manis, tinggi dan ramah. Tak
disangka aku bisa deket sama Syarief. Jadi aku tak peduli ada yang deketin aku kan,”
“Tapi satu bulan yang
lalu Arya kenalin Dony ke aku. Dony
itu sahabat Arya. Kebetulan kita ketemu waktu aku jalan sama Arya. Kita tukeran
pin bbm, dan malamnya Dony pasang fotoku di bbmnya. Mungkin dia pengen lihat
reaksi Arya. Aku marah dan suruh Dony ganti, dia gak mau, buat ngerjain Arya katanya,”
“Dan tadi siang Dony
bilang ke aku kalau dia suka sama aku. Selama ini aku dekat sama dia ya biasa,
wajar-wajar aja, sebatas dia teman Arya. Tapi aku gak tau kenapa tiba-tiba dia bilang
suka sama aku. Sejak awalpun aku gak tertarik karena niat dia awalnya cuma ngerjain Arya, jadi main-main aja
menurutku.” Cerita Rei pada Naya dengan kepala menerawang memandang langit
melalui jendela kamar Naya.
“Astaghfirullah.. Lalu apa
jawabanmu ke Dony? Kamu suka Arya kan Rei?”
“Aku ya jawab apa
adanya kalau aku gak suka dia Nay, mau gimana lagi. Meskipun dia bilang bakal
nungguin aku sampai aku bisa buka hati buatnya. Dan masalah aku suka sama Arya
atau gak, aku gak tau Nay, yang aku tau selama ini aku nyaman sama dia, itu aja.”
“Lalu seandainya Arya
suka sama kamu, apa yang akan kamu lakuin Rei?”
Rei tersenyum memandang
Naya. “Entah Nay, aku bingung, seandainya dia suka sama aku, aku harus
menerimanya atau melepaskannya karena menyakiti Dony, aku gak tau. Mungkin
suatu saat aku tau apa yang akan aku lakukan, tapi bukan sekarang.”
“Terserah sama kamu
Rei” jawab Naya sembari memeluk Rei.
“Aku mau balik ke kamar
aja, mau tidur mimpiin pangeran kodok
nyium kamu Nay.” ledek Rei pada Nay.
“Reiii...!!! Hiii
amit-amit deh. Kamu itu nyebelin gak
ada habisnya, tau aku gak suka kodok juga. Dasar tembem..!!” gantian Naya yang
meledek Rei.
“Waa, ngapain ikut-ikutan manggil itu sih
nenek sihir..! Yang biasa manggil tembem kan Arya aja.” Gerutu Rei lalu
berjalan menuju kamarnya.
Rei kembali ke kamarnya
dan merebahkan tubuhnya ditempat tidur. Dia teringat ada buku diary dikolong
tempat tidurnya, lalu diambilnya dan dia berjalan menuju meja belajar.
Menyalakan lampu meja belajar yang berwarna pink lucu serta memakai kacamata
favoritnya itu.
Dony Bastian,
sahabat Arya
Aku kenal dia
dari Arya satu bulan yang lalu
Entah ada
angin apa tiba-tiba dia bilang suka sama aku
Aku hanya
menganggapnya sebatas teman, tak lebih
Dia bilang
dia akan menungguku, aku menolak
Entahlah, aku
bingung harus bagaimana
Suatu saat
aku pasti tau jawabannya
Kapanpun itu
Rei membaca kembali apa
yang telah ditulisnya tadi dan dia juga membalik halaman sebelumnya. Selembar
bungkus permen berwarna biru jatuh ke lantai. Rei tersenyum dan mengambilnya
dari lantai. Dia teringat pertemuannya dengan Arya.
“Rei, mau?” tanya Arya
dengan menyodorkan permen berbungkus biru.
“Nggaklah, lagi males makan permen, nanti ompong.” Canda Rei saat mereka akan pergi ke taman.
Arya manyun, permennya
ditinggal begitu saja diruang tamu lalu ngeloyor
menuju taman.
“Loh kok ngambek? Nih
permennya. Kalo ngambek melulu nanti
cepet tua lho..!” Kata Rei menyodorkan permen itu kembali ke Arya.
Tapi Arya tak
menanggapi permennya. “Cepet tua tapi kamu suka aja lho..!”
“Iddiiiihhh PD banget. Siapa juga yang suka.” Jawab Rei. Lalu mereka
tertawa bersama.
Lalu Rei membaca
catatan yang ada kenangan bungkus permen itu. Dicarinya dan ketemu.
Arya
Mahendra, taman sore ini
Aku
bercanda dan berbagi cerita dengannya
Dan
di sore ini pula menikmati senja bersama
Tatapannya
ketika berbicara
Perhatiannya
Senyumannya
Benar-benar
tulus aku rasa
Setelah selesai membaca
lembar tersebut. Rei menemukan jawaban. Bahwa dia menyukai Arya dan hal apa
yang harus dia lakukan seandainya Arya juga menyukainya. Dia sudah mantab
dengan jawaban yang ada dihatinya. Arya atau Dony, katanya dalam hati.
*****
Hari berganti hari. Rei tak lagi
memikirkan hal yang telah terjadi. Yang ada dipikirannya adalah kuliah dan
organisasi yang diikutinya. Kebetulan hampir ada event di organisasinya, yaitu pentas musik. Jadi Rei sedang
sibuk-sibuknya mengurus acara tersebut, maklum karena dia bendaharanya.
“Rei, event-nya besok ya?”
“Iya Nay, ada apa? Kamu perlu wawancara
sama ketua ya buat majalahmu?” jawab Rei melihat Naya membawa kertas, bolpoin
dan alat rekam.
“Yoii,
tau aja kamu. By the way, ketuanya
mana Rei?” tanya Naya yang celingukan gak jelas.
“Itu yang pakai kemeja merah didepan
panggung, namanya Johan. Cari aja deh sana. Hati-hati jangan naksir, soalnya
dia banyak yang naksir, kan dia kan tipemu banget, manis.” Goda Rei pada Naya
“Kagak
kok, santai” jawab Naya sambil mengedipkan sebelah mata dan berjalan menuju
ketua acara.
Besok malamnya, acara pentas musik pun
dimulai. Kedua gadis itu disibukkan dengan organisasi mereka. Rei disibukkan
dengan event pentas musiknya dan Naya
disibukkan dengan mewawancarai ketua dan pengunjung untuk majalah organisasinya.
Naya mengikuti organisasi jurnalistik.
“Rei, aku sudah keren kan ya?” tanya
Naya saat berdandan didepan kaca kamarnya.
“Tumben Nay? Biasanya kita cuek aja. Nih
aku aja masih dengan gaya biasa. Kemeja, celana jeans dan sepatu kets.”
Naya manyun. “Ya sekali-sekali boleh lah
dandan dikit, sapa tau nemu pangeran berkuda putih.”
“Adanya juga cowok bermotor putih Nay”
kata Rei menggoda Naya. “Tunggu-tunggu, jangan bilang sang pangeranmu itu si
Johan? Setauku sih dia pakai motor putih kalau ke kampus.” Sambung Rei
penasaran.
“Upss,
ketahuan deh ya. Gak pernah bisa sembunyiin apapun dari kamu. Naksir aja sih,
soalnya dia manis banget.” Jawab Naya sambil tertawa.
“Ciiaaaatt,
Nay sudah kuduga. Dia tipemu banget. Siap-siap perang dunia sama gadis-gadis
lain dikampus ya..!” ledek Rei.
*****
Satu bulan kemudian. Siang itu Rei tak
ada jadwal kuliah, daripada bengong akhirnya dia membuat puding didapur.
“Reeeeiiiiiiii.....!!” teriak Naya
berlari menghampiri Rei. Wajahnya berseri-seri. “Coba tebak, ada apa?” sambungnya.
“Apa ya? Kamu naik jabatan di organisasi
ya? Orang tuamu mau kesini?”
“No.”
“Lalu apa? Biasanya yang buat kamu
teriak itu kalau orang tuamu mau kesini atau saat kamu dapat kado ulang tahun
dari mereka. Kan ini bukan ulang tahunmu Nay.” Jawab Rei.
“Aku sama Johan Rei. Tadi dia bilang
suka sama aku, dan sekarang aku jalan sama dia.” Kata Naya penuh bahagia.
“Kamu serius? Johan ketuaku itu kan?”
Naya hanya menganggukkan kepala.
“Ciyeee
yang sekarang udah ada gandengan,”
kata Rei lalu mengacak-acak rambut Naya. “Ditunggu makan-makannya..!” sambung
Rei.
Tak terasa sudah dua minggu berlalu.
Terkadang Rei sendirian, berdua dengan Naya seperti biasa atau bertiga dengan
adanya Johan. Tapi semua itu sudah biasa. Dan kebetulan sore ini Rei dan Naya
duduk dibangku taman dekat rumah mereka sepulang kuliah berdua.
“Rei, sudah lama kamu
gak cerita soal ini ke aku. Gimana perasaanmu?” Tanya Naya penuh hati-hati.
Rei tersenyum memandang
langit biru. “Aku baik-baik saja Nay. Tak ada yang berubah dengan perasaanku.”
Jawabku tanpa ragu. Saat Rei ingin melanjutkan kata-katanya, ponselnya
berdering. Ada panggilan masuk.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Ada
apa mas?” jawab Rei.
“Kamu lagi apa Rei?
Sibuk kah?”
“Nggak kok mas, ini aku lagi santai aja sama Naya ditaman, memang
kenapa?”
“Bisa ketemu gak? Aku
pengen bicara sama kamu.”
“Ya sudah, kesini aja
mas sekarang. Atau nanti malam juga gak apa dirumah, aku free gak ada kegiatan kampus.”
“Oke, aku kerumahmu ya nanti malam.. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,”
Rei mendadak diam memandang langit. Rei kembali ragu, padahal dia sudah yakin
dengan hati dan jawabannya. Naya bingung melihat tingkah Rei. “Rei, ada apa?
Siapa yang akan menemuimu, Arya atau Dony?” tanya Naya.
“Arya Nay, mas Arya
nanti malam kerumah.” Ucap Rei memandang Naya dengan tatapan bingung.
Rona jingga dilangit
sore ini begitu indah. Rei jadi teringat ketika berdua menghabiskan senja
bersama Arya. Sudah hampir Magrib, akhirnya keduanya kembali kerumah. Selepas
mereka shalat Magrib, tak lama kemudian ada suara deru mobil didepan rumah. Itu
pasti Arya, pikir Rei.
“Assalamu’alaikum” sapa
orang dibalik pintu.
Naya lalu berdiri dan
berjalan untuk membukakan pintu. “Wa’alaikumussalam. Mas Arya, nyari Rei ya?”
tanya Naya basa-basi sembari tersenyum kecil.
“Iya Nay, tadi aku
telepon Rei dan katanya dia ada dirumah. Rei ada kan Nay?”
Naya celingukan mencari
Rei namun tak terlihat batang hidungnya. “Sebentar mas aku panggilin mungkin dia di kamar mandi. Masuk dulu mas,” kata Naya
mempersilahkan Arya duduk diruang tamu dan bergegas mencari Rei.
Rei tersenyum melihat
Arya duduk dikursi ruang tamu. “Hai bawel, ada apa?” tanya Rei pada Arya. Rei
memang biasa memanggil Arya dengan sebutan “bawel” dan Arya sering memanggil
Rei dengan sebutan “tembem”.
“Mbem, kamu kok jahat
ya, aku ulang tahun bukannya diucapin kek,
malah dicuekin dari kemarin.” Kata Arya dengan gaya sok manyun.
“Astaga, kamu ulang
tahun? Aku bener-bener gak tau. Bawel, happy
birthday and be better than ever..!!”
ucap Rei kaget sekaligus senang bisa bilang secara langsung.
“Aamiin.. Makasih
tembem, meskipun aku kecewa karena kamu bukan yang ucapin pertama kali, tapi
tak apalah yang penting mana kadonya?” jawabnya diikuti tawa kita berdua. Namun
setelah itu wajah Arya tiba-tiba berubah serius. “Sebenarnya ada hal lain yang
aku pengen bicarain sama kamu, Rei.”
Kening Rei mengkerut.
“Memangnya ada apa mas? Kok kayaknya serius gitu.” Selidik Rei.
“Aku suka sama kamu,”
Jawabnya dengan tatapan penuh harap. “Sebenarnya gimana perasaanmu ke aku?
Jujur Rei.”
“Mas, kalau disuruh
jujur ya perasaan kita sama.” Jawab Rei menunduk.
“Makasih Rei, kamu
sudah milih aku.” Senyum tulus mengembang diwajah Arya.
Rei membalas senyum
Arya. “Tapi kita gak bisa bersama kan mas, aku kasihan sama mas Dony. Aku gak
mau nyakitin dia lebih dari ini.”
Jawab Rei. “Tapi kita masih bisa berteman baik seperti biasa kan?”
Arya mengangguk. “Aku
tau Rei, itu sebabnya aku kesini. Aku cuma mastiin
perasaanmu aja. Makasih ya Rei untuk
perasaanmu dan untuk kamu yang udah
mau ikut jaga persahabatanku sama Dony. Bagiku Dony bukan lagi orang lain, dia
sudah seperti saudaraku. Seandainya Dony gak suka kamu, pasti aku sudah jujur
tentang perasaanku ini dari dulu.”
“Makasih juga mas untuk semuanya. Aku juga banyak belajar dari
kalian berdua. Mungkin memang lebih baik seperti ini. Perasaan suka itu bukan
suatu keegoisan untuk saling memiliki. Suka itu kan gak memaksa.” Jawabku
sembari tersenyum.
Akhirnya Arya dan Rei
memilih untuk tidak bersama. Bagi mereka perasaan suka tidak harus saling
bersama. Mereka memutuskan untuk tetap berteman baik. Dengan begitu, tidak akan
ada lagi salah paham dan perpecahan didalam persahabatan Arya dan Dony. “Rasa tak pernah salah, hanya waktunya yang
kurang tepat dan akhirnya memberikan suatu pelajaran berarti untuk kita.”